"Walaupun banyak negeri kujalani, yang mashur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku.."
Headset buru-buru kutanggalkan saat ujung indera penciumanku tanpa tersadar kembang-kempis saat ditambati aroma pencampuran wangi kayu, tembakau hutan dan asamnya Kopi Gayo. Tautan yang selalu berhasil menarik kerinduanku akan Serambi Mekkah walau aku berada di ujung Bumi. Sekelebat, seulas senyum di raut penuh lipatan kulit dan binar penuh kasih Ma hadir saat kepulan dari mug putih mulai mendekat.
Kopi tubruk Arabika tanpa rasa pahit
tertinggal di lidah memang selalu menggoda namun aku hanya ingin mencecapnya
saat bersama Ma. Dan dengan berat
hati aku menggelengkan kepala saat pramugari berambut merah dan beraksen
Australia menawariku sajian serupa dengan penumpang di sayap seberang. Hidup
adalah perjalanan penciptaan kenangan indah bukan?
Jarum panjang menunjukan hanya enam
jam lagi yang dibutuhkan burung besi untuk mendarat. Dan aku kembali
mendengarkan alunan musik melalui headset walau isi kepalaku tak kunjung
sepaham dengan lelah di badan. Ahkirnya setelah 12 tahun, Aneuk Tuloet bisa kembali bersujud di Masjid Baiturrahman bersama
adik semata wayangnya. Dan aku tidak sabar walau sesak itu masih terasa.
"Teuku, silahkan diminum Wine Halalnya" dan kesadaran akan waktu langsung mendarat kembali kala sebuah aroma fruity yang kuat mengepul dan menyusup lubang hidung jambuku. Dan seperti masa lalu, aku tak bisa menolak saat cangkir bening berbuih kuning diangsurkan jemari langsingnya.
Masih bertahta cincin perak pemberian
terahkir dari wisataku ke Kotagede Yogyakarta. Ditambah dua tegukan kopi yang
berasa asam legit disesap, timbulah keberanianku untuk kembali menatapnya.
Rongga mulut dan tenggorokanku masih dilekati rasa serupa anggur saat wanita
berdarah Prancis itu tersenyum.
Beberapa menit yang lalu aku tak bisa
menahan decak kagum wanita berbinar biru gundu dengan tangkas meletakan satu
set vaccum coffee pot dan memanaskan
air selama satu menit di atas mejaku. Air panas kemudian dicampurkannya dengan
bubuk kopi dan diaduk dengan stik kayu khusus. Tak ada gula merah yang
dileburkan. Dia paham betul kesukaanku.
Aku memang sudah duduk dengan jemari
mengusap lima biji kopi Arabika merah gelap besar yang tertumpuk rapi di tiap
meja ruang indung atau ruang tengah Krong
Bade. Ma dan Bentara masih dalam
perjalanan turun dari perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo. Dan aku
memutuskan untuk ke cafe kopi keluarga kami yang masih berumur tiga hari.
Dan yang menyambut kerinduan hanya Jessica,
calon isteri adik kembarku. Sedikit kegetiran menyeruak kala raut teduhnya
kutatap saat menaiki perlahan tiap tangga rumah Krong Bade dengan dia berdiri menantiku di ujung lapis kayu ke lima.
Aku pernah memendam rasa sejak kami
masih seperti kurcaci yang menapaki setapak antara rimbun daun oval dari
puluhan pohon kopi setinggi tiga meter. Dan beberapa rangkaian bunga kecil
bakal kopi telah kurangkai sebagai mahkota jessica. Namun saat mengatakan akan
melakukan taaruf dengan Jessica maka tawaran kuliah di Jerman segera aku
sanggupi. Meninggalkan 700 orang yang selamat dari gempa dan tsunami.
"Kau sudah lebih ahli sekarang.
Jangan-jangan kau juga ikut melakukan fermentasinya? Dan berarti akan menetap
di Ulee Lheu?" Pertanyaan aku lontarkan seraya menatap seluruh sudut rumah
Krong Bade hanya berada lima meter
dari jalan raya. Rumah adat Aceh ini milik tetangga yang sudah Ma beli memang sekarang sudah mengkilat
tiap ruas ukirannya. Kolong tangga yang biasanya bertumpuk kayu bakar sudah
beralih menjadi ruang pelanggan bertandang.
Jessica tampak memperbaiki kacamata
dibalik kerudung putihnya sebelum membuka kata, "Aku ikut memetik,
mencuci, merendam bahkan menggotong ke terpal dan memeramnya di bawah terik
matahari. Dan memang aku sudah menetap sebulan yang lalu di rumah bibi setelah
Bentang mengatakan akan menggunakan rumah adat ini. Selain agar tidak dihuni
hantu, cafe hanya batu loncatan, kelak akan ada banyak bisnis baru bersama
warga sekitar."
"Bagaimana bisa kau sangat
mencintai kehidupan sederhana dan keras perkebunan bahkan tak nampak menyesal
karena sia-sia jauh merantau mendapat ilmu psikologi bila ahkirnya hanya di balik
cafe kopi."
"Sederhana, aroma biji kopi
sudah di sekelilingku saat mama melahirkan di tengah perkebunan. Dan berkat perkebunan
juga, ayah bisa membangun rumah. Jadi bagaimana bisa berpaling saat kopi
memanggil? Lagipula karena kopi, aku masih hidup. Dan tentang gelar sarjana,
tak ada yang sia-sia dalam hidup ini."
Aku hanya bisa menatapnya nanar. Dua
jam sebelum tsunami menerpa, jessica memang dipaksa Ma untuk ikut memanen kopi ke perkebunan kami di Gayo. Sekarang dia
bukan seorang gadis perengek masakan Ma
yang kukenal dulu. Bentara beruntung akan menghabiskan masa tua bersama
penolong sepadannya.
"Ma lega kau pulang lagi Agam. Usiamu sudah 29, Ma ingin cucu dari Agam. Lima hari yang lalu saat lebaran, saudara jauh dari jessica bertandang bersama orang tuanya. Sudah jatuh cinta Ma dengan calon menantu sulung." bisik yang aku dengar saat mencium pipi wanita pertama yang kucintai di dunia. Setelah lima jam menunggu, mereka ahkirnya sampai di rumah.
Dan buru-buru aku menyambar dan
meneguk kembali gelas Kopi Weng Telur namun tak ada bau amis kuning telur yang
diracik oleh Bentara. Berkilah maghrib hampir menjemput dan kelebatannya
kerudung Jessica, aku pamit untuk berganti baju koko seraya meminta Bentara
mengantarku ke masjid yang tetap berdiri gagah walau tsunami membawa pergi dua
belas tahun yang lalu.
Sejak belum diperbolehkan menjadi
iman, Tengku Haji selalu bercerita tentang Nèk
Tu dan wanita yang lain mengumpulkan beras satu kaleng susu tiap hari. Chik Tu juga menyerahkan beberapa persen
hasil penjualan kopi arabica untuk membantu mendirikan masjid berjarak 500
meter dari pantai.
"Tapajôh sië kamèng tém bak keudè tém?”
"Aduen, kami harus menemui pemilik rumah abadi. Tinggalah disini,
jaga harta keluarga kita."
Kunci mobil pick up kuterima dengan
tepukan di bahu kekar Bentang dan kerlingan pada seulas senyum Jessica,
"Kau seperti mau kemana saja Bentang. Aku tunggu di warung sate kambing
sebelah dan kita pulang bersama."
Tepat saat ayam jago berkokok, dentingan kopi
gayo yang disaring Fasial. Sudah lama cara menyajikan secara tradisional Aceh
ini tak aku lihat di depan mata. Sepiring kudapan khas Aceh yaitu timphan
terhidang di meja menggoda geliat lidahku yang kelu.
Aku memang sudah terduduk di Gayo,
warung kopi yang dibuka resmi kemarin. Sepeda onta sudah kukayuh dari rumah
sebagai pengganti motor karena aku tak ingin derunya mengganggu lelapnya Ma. Tiga jam lalu lampu kamar tidur
baru dipadamkan walau kerinduan akan Bentara tetap menyala.
Kata orang, cinta sejati hanya bisa
dipisahkan oleh maut. Dan ternyata cinta sejati jessica tidak pernah bisa
direngkuh. Legenda Romeo Juliet atapun Sampek Engtay ternyata dialami Bentang
dan Jessica. Tujuh hari yang lalu, tanah merah dengan nisan terukir nama
Bentara dan Jessica sudah ditutup.
Iya, sarung putih Bentara dan
kerudung putih Jessica menjadi bercorak merah saat sebuah mobil menabrak mereka
tepat di depan mataku dan anak-anak pengajian. Wasiat terahkirnya
terngiang-ngiang sampai detik ini, "Tinggalah disini, jaga harta keluarga
kita."
Dan aku tercenung, malam pertama
jenazah mereka diinapkan di rumah, Ma sudah berpesan bahwa sebagai anak
satu-satunya sekarang, aku berkewajiban meneruskan usaha perkebunan dan tentu
cafe kopi. Sebuah keengganan yang ternyata baru aku sadari sekarang, dulu
rasa itu mulai hadir saat Bentara menyajikan sesaat sebelum meminta jessica
dari diriku.
"Walaupun banyak negeri kujalani, yang mashur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku, disanalah ku merasa tenang."
Headset di
telingaku terasa bergeser dan tampak Ma menyodorkan secangkir kopi Gayo tubruk.
Sedetik kemudian lidah terasa menari-nari kegirangan saat hangatnya kopi Gayo
tubruk yang langsung terpesan saat burung besi kami masuki. Siang ini aku
kembali ke Jerman bersama Ma untuk
mengikuti pameran kopi sedunia dalam beberapa hari atas nama perkebunan dan
cafe Gayo. Tepat setahun sejak Bentang dan Jessica meninggalkan satu kekasih
untukku. Iya aku sekarang mempunyai kekasih bernama Gayo.
Ma = Ibu
Aneuk Phoen =
Anak pertama
Aduen =
Kakak laki-laki
Teuku =
Bangsawan pria
Nèk Tu =
Nenek buyut
Chik Tu
=Kakek buyut
Tapajôh sië kamèng
tém bak keudè?= Kita makan daging kambing di warung mau ga?
Image: Wikipedia
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh
GIORDANO dan Nulisbuku.com
Posting Komentar
Posting Komentar