Oase dalam wujud lain itulah yang
Saya temukan saat menemukan profilnya walau sekedar membaca melalui media
terhubung dengan layar komputer dan satelit. Memang Saya mengenalnya melalui
media sosial yang dinamakan forum online
bagi anak indigo sekitar dua tahun yang lalu. Dia unik karena dengan semangat
membagi artikel tentang ajaran Budha lengkap dengan ilustrasi, bukan karena
sisi indigonya. Saya merasa mulai dicerahkan tanpa digurui.
Sebut saja Erin dan Saya tidak
memilih sebutan Bunga sebagai identitas samarannya, terlalu biasa dan dia bukan
korban ataupun pelaku. Erin mempunyai keyakinan yang kuat akan karma,
reinkarnasi dan Saya menghormatinya sama seperti dia melakukakan serupa. Beberapa
kali melalui kami berdiskusi secara singkat dan tenang maupun panjang lebat
penuh perdebatan yang melelahkan. Wajar karena kami mempunyai kesamaan yaitu
keras kepala dan haus akan informasi baik pro maupun kontra.
Melalui dirinya Saya banyak belajar
tentang nilai-nilai positif ajaran Budha dan belajar menerapakannya dalam
keseharian walau tidak berpindah agama. Begitu juga sebaliknya dengan Erin, dan
memang sejak di bangku sekolah yang notabene berbasis nasrani maka beberapa
lagu rohani sudah hapal luar kepala.
Jika dipikir maka tiada nominal yang
bisa dia peroleh dengan membagi artikel tersebut bahkan bila dihitung-hitung
maka akan menyita waktu dan kouta internetnya. Saya menebak-nebak bahwa
aktifitasnya di dunia maya hanya dalam hitungan hari namun ternyata berlanjut
sampai detik saat Saya menuliskan kisah pertemanan kami. Saya mengaguminya
walau belum mengatakannya secara lisan.
Memang artikel yang dipasang bukan
hasil karyanya sendiri melainkan dari akun media sosial resmi komunitas namun
Saya mengagumi konsistensinya. Setelah bercakap-cakap melalui bahasa teks
melalui media pengiriman pesan menggunakan pulsa maka beberapa bulan kemudian
kami bertambah dekat. Dan kami sepakat menggunakan lambang berwarna biru dengan
salah satu huruf dalam deretan abjad.
Dia cenderung tertutup namun Saya
tetap mendapati artikel-artikel mengenai ajaran Budha pada linimasa media
sosialnya. Bagi Saya sangat menyenangkan bisa membaca informasi yang membangun
secara spiritual walau Saya tidak memilih memeluknya secara resmi. Tentu saja
dibutuhkan hati yang terbuka dan kemauan untuk bertoleransi.
Dan Saya memang masih belajar
melalui relasi dengan yang berbeda keyakinan namun bersedia menjadi teman walau
masih sebatas dunia maya. Kenapa Saya menyebutkan "bersedia" karena
memang tak setiap orang mau menerima sesuatu yang berbeda dengan kelompoknya.
Sebuah tingkah laku yang wajar untuk mempertahankan keberadaan kelompoknya.
Bila tadi Saya menemukan oase
pertama maka pertemanan dengan Rene merupakan hitungan kedua. Dia seorang petugas
media sebuah rumah sakit di sebuah kota dimana Napoleon berwarga negara. Lagi-
lagi Saya bisa berteman dengan wanita berambut perak tersebut dengan perantara
media sosial biru tua dan berlambang saah satu abjad. Tentu wanita yang
seangkatan dengan ibu Saya mempunyai keunikan walau bukan Indigo. Jangkauan
spiritual yang sedikit berwarna lain dengan kebanyakan dan dia dengan konsisten
juga menyuarakannya melalui linimasa.
Kecenderungan untuk menyukai segala
bentuk perwujudan alam sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dihormati
menjadikan Rene memilih menjadi vegetarian. Sebuah langkah yang membutuhkan
proses penyesuaian baik fisik, mental serta pola pikir yang panjang tentu saja.
Saya sendiri mulai belajar menjadi vegetarian saat berkenalan dengannya.
Saya menamakan dua homo sapiens tersebut sebagai oase
karena berbeda dengan kebanyakan manusia yang menggunakan media sosial dengan
motivasi yang merugikan. Memang mereka adalah oase kecil namun menyejukkan
menurut Saya walau mungkin tidak untuk orang lain karena memang tiap pribadi
mempunyai sudut pandang yang berbeda. Jumlah oase kecil memang selintas banyak
namun mereka tak berkumpul dan saat berkumpul kadang mereka kehilangan keunikan
pribadi lepas pribadi.
Saya sering bergembira saat mendapati oase
besar pada suatu masa namun perlahan mendapati mereka hanya bertepuk dada tanpa
menjejakkan kaki ke dunia. Mereka seperti mahluk langit tanpa menyadari kalau
masih menghirup oksigen dan memamah biak dengan atribut raga yang sama.Memang media sosial seperti pisau
yang fungsinya tergantung sejauh mana kita mempergunakannya.
Para netizen memang sering lupa bahwa tiap tombol, kata, gambar yang kita sumbangkan melalui papan elektronik merupakan kontribusi besar pada kehidupan. Tragisnya kita masih mendapati begitu banyak akun palsu di media sosial yang dipergunakan untuk melupakan bahwa manusia adalah pemeliharaan alam, dunia, dan seluruh penghuni termasuk di dunia maya. Saya pikir kita tak perlu memilih larut dalam debat argumen di media sosial yang kerap berujung pada penggunaan kata-kata yang jauh dari kesopanan.
Tentu menjadi berbeda memang
membutuhkan keberanian yang sering menakutkan bagi banyak orang. Oase walau
kecil tak perlu menjadi pasir walau berada di tengah padang kering serta
tandus. Para musafir sejati tahu mana oase sejati dan fatamorgana semata. Jadi
apakah Anda oase kecil di dunia maya?
Image: cienciorama.unam.mx, dainusantara.com, blog.toastedsnow.com, tealswan.com
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa
#celebratediversity; #10tahunicrs.
Posting Komentar
Posting Komentar