[Image: Doc Vika Kurniawati]
Sewaktu ukuran telapak kaki masih bisa memakai
sandal jepit mungil sampai berganti sepatu pantofel hitam saat upacara bendera,
setiap sore saya bisa dengan mudah bertandang ke Puro Paku Alaman. Ibu selalu
menggandeng jemari mungil putri bungsunya menyusuri jalan dari rumah nenek
menuju salah satu sudut halaman luar istana teromantis menurut saya, tepatnya
menemui penjual sate kere.
Mengingat
angin sering bertiup lumayan kencang tepat di halaman luar tepat di depan Puro yang bernama Alun-alun Sewandanan maka jaket merah selalu saya
kenakan. Alhasil rambut pendek poni saya selamat dari kepulan asap aroma
khas asap sate kere. Kadang tarian angin tersebut membuat arang menjadi sangat
kemerahan dan jadilah deretan gajih (lemak sapi) menjadi gosong (terlalu matang
hingga menghitam). Namun itulah bagian yang saya suka karena tingkat kematangan
yang membuat gajih lebih mudah dikunyah.
[Image: Doc Vika Kurniawati]
Romantisme ada di tiap sudut kota Jogja,
begitulah kalimat pernah diperkatakan Anies Baswedan yang memang tumbuh di kota
pelajar. Dan memang benar menurut saya terutama istana yang menjadi tempat
tinggal Pangeran Paku Alam sejak 1813, di samping
menarik dari segi sejarah maupun arsitekturnya. Romantis karena selalu
mengingatkan kenangan saat ibu meniupkan sate kere tersebut yang memang merekah
panas. Tentu saja waktu itu saya hanya nanar kesal serta keheranan kenapa
begitu lama sate kere ditiup padahal perut sudah bergenderang. Yah begitulah
manusia selalu sulit bersabar, namun setelah beliau ke surga ternyata saya
sangat ingin masa itu terulang kembali
Tentu tak setiap hari saya menikmati
sate yang tersusun dari irisan gajih sapi yang terlebih dahulu dilumuri kuah
kecap plus bumbu rahasia kemudian dibakar di atas tungku pembakar arang
membara. Maklum masih bocah, selalu mencicipi semua menu makanan yang dijual,
apalagi halaman luar Puro Paku Alaman yang lumayan luas dan teduh oleh pohon beringin,
memang diperbolehkan menjadi tempat beberapa warga memperoleh rejeki bahkan
sampai detik saya menulis artikel berikut.
Sebenarnya dulu ada dua macam sate kere khas Jogja yang pernah saya cicipi. Pertama sate kere yang ketebalan tiap potongan gajihnya hanya seperti sebatang kotek api dengan panjang dua cm. Satu tusuk berisi empat irisan gajih dan dikenal dengan sate lemut (nyamuk) karena ukurannya setara daging nyamuk. Yang kedua sate kere yang lebih tebal irisannya seperti yang kita kenal sekarang. Namun tentu rasa kedua jenis sate tadi sama saja yaitu gurih dan menempel di rongga mulut jika sudah dingin.
[Image: Doc Niken Nawangsari]
Seporsi sate
lemut dengan wadah pincuk (lipatan satu lembar kecil daun pisang yang disemat
lidi seukuran korek api) berisi tiga tusuk dan yang menjadi penggantinya adalah
tiga koin seratus rupiah. Sebuah harga yang mahal sebenarnya karena saat itu
bisa untuk membeli satu butir telur ayam. Untuk harga sate kere, saya belum
bisa mengingatnya, maklum hanya tahu makan saat bocah. Dan memang penggemar
kedua sate tersebut biasanya memang anak-anak.
Saat saya
bertandang beberapa waktu yang lalu, sudut romantis tersebut tetap diisi
penjual sate, entah apakah masih dengan orang yang sama atau berganti. Untuk
aromanya sendiri tak jauh berbeda hanya saja memang sudah berganti pincuk
lembaran kertas minyak pakai klip, bukan lagi memakai lidi kecil. Lima
tusuk sate dengan lima irisan gajih tiap batangnya berharga Rp10.000,00 ,
sebuah nominal yang murah untuk sebuah kenangan indah.
Bagaimana dengan anda? Apakah sudah pernah
mencicipi legitnya sate kere saat berkunjung ke Jogja? Tenang, selain sate
kere, sekarang penjualnya menyediakan juga sate usus ayam dan telur puyuh yang
sudah dibumbui dengan gula Jawa terlebih dahulu. Tenang penjual sate kere di
Puro Paku Alaman berjualan tiap hari sehingga anda akan selalu bisa merasakan atau
bahkan membuat kenangan romantis sendiri.
[Image: Doc Vika Kurniawati]
Jika anda berada di Jakarta dan menggunakan tiket pesawat bila ke Jogja, tepatnya mendarat di bandara
Adisucipto maka bisa memilih jadwal penerbangan setiap hari menggunakan Lion Air. Anda hanya memerlukan 30
menit dari bandara menuju Puro Pakualaman menggunakan taksi. Jadi kapan
datang ke Puro Paku Alaman kakak?
Tulisan menarik, terimakasih atas partisipasinya dalam lomba blog airpaz, Semoga menang dapat tiket pesawat gratis dari Airpaz yah :)
BalasHapusSolo dan sekitarnya memang banyak hal-hal unik.
BalasHapusAdakah informasi tempat menginap di sana yang murah dan bersih ya?
terima kasih